Membaca adalah skill of life pertama yang saya kuasai baik, sejak saya kecil. Sebelum saya bersekolah SD, saya sudah membaca buku, artikel, koran dengan baik.
Sejak TK, saya sudah terbiasa membaca artikel-artikel di koran Kompas, Sinar Harapan, Majalah Femina, Aku Tahu, Tempo, dan berbagai bacaan lain, meski saat itu saya tidak paham apa maksud tulisan itu. Saya hanya membaca karena suka membaca.
Bapak Ibu saya mungkin juga kutu buku, di gudang rumah kami, begitu banyak koleksi komik bergambar seperti Gundala, Godam, Si Buta Dari Goa Hantu. Juga novel karya Kho Ping Hoo, S.H Mintardja, NH Dini, Marga T, Pramoedya, Danarto, Putu Wijaya, dan banyak lagi. Belum lagi buku-buku teknik, matematika dan sejarah, yang merupakan bagian dari pekerjaan Bapak Ibu saya.
Eyang kakung saya, ayah dari bapak saya, juga seorang kutu buku. Koleksi bukunya terhitung sangat berat, waktu itu saya tidak tahu beberapa diantaranya adalah buku terlarang, tapi saya mengenal buku Pemuda Kembali, Di Bawah Bendera Revolusi, Madilog, Bukan Pasar Malam, dan beberapa buku tulisan Che Guevara, La guerra de guerrillas adalah buku yang saya pinjam dari rak kakek saya, dan tidak pernah saya kembalikan.
Kebiasaan saya membeli buku, sudah mencapai taraf yang mengkhawatirkan. Mengunjungi toko buku bandara, sudah menjadi kewajiban, bila harus berpergian dengan pesawat. Itu saya lakukan dalam perjalanan berangkat. Dan saya merasa wajib membawa pulang buku yang saya beli. Dalam imajinasi saya, buku-buku itu akan sedih bila saya tinggalkan di tempat asing.
Saya memang selalu sangat terikat emosional terhadap buku-buku itu. Pernah saya menangis gara-gara buku-buku saya di jual ke pedagang loak oleh asisten rumah ibu saya. Saya merasa kehilangan bagian diri saya ketika itu. Terus terang, saya sangat posesif kepada buku-buku saya, mungkin malah sudah masuk kategori hoarding disorder.
Tapi setelah berkeluarga, saya sadar, kebiasaan membeli buku fisik, tidak bisa saya teruskan, karena mungkin akan sangat mengganggu orang-orang terdekat saya. Saya harus berbagi ruang dengan mereka.
Sekitar tahun 2010, saya mendapatkan sebuah tablet android, Samsung Galaxy Tab. Di dalamnya terdapat aplikasi ebook reader yang sudah ada buku Alice’s Adventures in Wonderland, walaupun sudah beberapa kali membacanya, tapi saya menikmati membaca dalam format baru, dan itu adalah awal saya menemukan kepraktisan e-book.
Sebelumnya saya sudah mengenal e-book, tapi hanya terbatas membacanya melalui PC, yang menurut saya sangat tidak praktis.
Tahun 2015, adalah titik balik dari kebiasaan saya mengkoleksi dan membaca buku. Saya tidak lagi sering membeli buku-buku fisik, saya beralih membeli dan mengkoleksi e-book. Buku-buku fisik, hanya saya beli untuk buku-buku yang tidak ada versi e-book, sangat memorable, atau klasik sebagai koleksi. Saat ini koleksi ebook saya sudah mendekati 2TB, sama seperti buku fisik, saya tidak pernah menghapus file e-book. Mungkin saya sekarang beralih masuk kategori e-book hoarding, entahlah.
Tidak ada alasan buat saya untuk tidak beralih ke e-book. Saya bukan orang yang menggemari aroma buku baru, atau bibliosmia. Saya menggemari isi buku dibandingkan aroma bukunya. Saya lebih suka membaca daftar isi buku, dibanding tahun penerbitan atau penerbitan ke berapa. Saya lebih suka membaca bagian belakang buku, pengantar atau resensi, dibandingkan melihat cover buku. Saya juga lebih suka membuat catatan di buku tulis dibanding mencoret-coret halaman buku, walaupun masih tetap suka melakukan highlight dengan marker.
Yang jelas sekarang saya tidak perlu lagi repot membawa buku fisik, tidak perlu lagi takut kehilangan buku, atau rusak. Saya bisa membawa beberapa buku sekaligus tanpa menambah beban tas saya.
Dalam hal memilih reader, saya tidak tertarik dengan e-ink reader, seperti kindle, selain harganya yang mahal, menurut saya sangat lambat, dan tidak luwes seperti tablet android. Saya juga tidak memilih iPad, sekali lagi selain harganya mahal, beratnya juga lumayan, membuat tangan saya pegal bila membaca lebih dari 1 jam.
Saat ini saya menggunakan Huawei Matepad T10s. Tablet yang harganya terjangkau, dan ringan. Untuk membaca buku, toh tidak perlu tablet dengan prosesor multi-core dan gpu yang tinggi.
Matepad ini adalah tablet ketiga saya, setelah sebelumnya saya memakai Galaxy Tab, dan Galaxy Tab 10, yang mungkin karena umur, sudah tidak bisa lagi berfungsi.