Saya adalah pembaca buku, tidak perduli genre atau jenis buku, saya selalu membacanya. Entah itu beli buku, koleksi buku orang lain, atau saya baca di perpustakaan.
Tapi sampai umur saya yang sudah mendekati setengah abad, jujur saya tidak pernah memperhatikan satu bagian penting dari buku, sampul buku.
Sampai saya menemukan tulisan di Medium berjudul ‘Mulailah menilai buku dari sampulnya’ tulisan Edwin Fauqon.
Jujur saja, sampul buku memang tidak pernah menjadi perhatian dan pertimbangan saya. Kalaupun saya melihat sampul buku, sebenarnya hanya untuk membaca judul, sub judul, atau apapun tentang hal yang di pakai sebagai petunjuk tentang bahasan buku.
Mengenai gambar, tata warna, tata tulisan, foto, atau apapun yang di sebut seni, saya tidak memperhatikannya.
Tapi ternyata saya akan bisa me-recall ingatan saya tentang buku yang pernah saya baca, ketika saya melihat covernya.
Saya langsung ingat ketika melihat sketsa penari dengan latar belakang sejenis rumah, bahwa saya pernah membaca ‘Lintang Kemukus Dini Hari’ oleh Ahmad Tohari, yang setelah itu ilustrasi ini dipakai buku ‘Ronggeng Dukuh Paruk’, dan semakin mudah saya ingat dengan latar belakang merah atau oranye menyala.
Atau pada buku seorang laki-laki memegang keris dengan latar belakang matahari. Tanpa membaca judulnya saya langsung ingat ‘Senopati Pamungkas’ tulisan Arswendo, yang juga mengingatkan saya pada buku ‘Musashi’-nya Eiji Yoshikawa, mungkin saling terinspirasi, atau bagaimana saya tidak paham.
Yang jelas, saya belum pernah memperhatikan cover buku dengan detail sampai saya menemukan tulisan oleh Edwin Fauqon. Dan membuat saya tertarik untuk membaca dan mencari referensi tentang sejarah dan seni cover buku.
Saya punya koleksi buku-buku lama terutama buku-buku terbitan Indonesia. Beberapa di antaranya bersampul seadanya untuk ukuran sekarang, hanya tulisan biasa, berisi judul, penulis, edisi, penerbit.
Beberapa di antaranya ada yang menggunakan hardcover dilapisi kain, dengan cetakan tinta berwarna emas atau perak, walaupun hanya ada judul buku dan penulisnya saja.
Beberapa ada yang ber-samak kulit, sangat mewah, lengkap dengan ornamen dan tulisan embos, beberapa ada yang bersampul dluwang, atau sejenis kertas yang tebal, terbuat dari kulit kayu pohon dluwang.
Buku-buku yang bercover mewah, dulunya mungkin adalah koleksi-koleksi pejabat, cendikiawan terpandang, atau kolektor buku yang kaya.
Dari hasil pencarian, ternyata masalah sampul buku dari Indonesia, diteliti oleh peneliti Universitas Leiden, dan masuk dalam Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia and Oceania.
Sering kali saya heran, kenapa Universitas Leiden ini begitu tertarik dengan hal-hal yang berbau Indonesia, dan mungkin mereka lebih tahu tentang Indonesia dibanding kita yang orang Indonesia.
Pada masa-masa sebelum merdeka, buku-buku di Indonesia memang di terbitkan tanpa cover. Biaya produksi buku, masih mahal, sehingga dianggap tidak perlu untuk mencetak cover, yang hanya akan menambah mahal harga buku.
Pada masa itu, buku adalah barang mewah, dan sangat personal sifatnya. Ditambah lagi ada tradisi budaya relijius keagamaan, sebagai usaha untuk melestarikan buku dan pengetahuan, dan untuk diwariskan kepada generasi sesudahnya, beberapa buku tidak lepas dari cerita-cerita mistik dan menjadi pusaka keramat.
Beberapa pihak, justru kebablasan dalam mengartikan pusaka ini. Alih-alih melestarikan, justru mereka malah menutup kesempatan generasi sesudahnya mempelajari lontar, manuskrip, atau buku. Buku keramat, tidak semua orang di ijinkan menyentuh dan mempelajari.
Kembali ke masalah sampul buku, karena pada masa itu harga buku mahal, maka saat itu bila seseorang membeli buku, maka ia akan membawa ke tempat penjilidan lalu memesan cover buku sesuai dengan selera dan kemampuan membayar.
Ada yang memilih sampul kulit dengan hiasan indah, yang tentu sangat mahal, ada pula yang sekedar memberikan hardcover dengan penutup kain yang di rasa cukup untuk memperpanjang umur buku.
Pada masa ini, sampul buku, masih terbatas pada fungsi untuk melindungi halaman-halaman buku yang terbuat dari kertas yang rapuh. Dan mungkin salah satu fungsi cover buku adalah untuk pamer, menunjukan strata sosial.
Saya pernah berkunjung ke rumah seorang dokter profesor yang mungkin kelahiran awal abad 20. Di ruang tamunya di pajang buku-buku kedokteran dan ensiklopedi ber jilid-jilid dengan sampul kulit mewah, berjejer rapi, yang untuk menyentuhnya pun saya tidak berani. Dan begitu juga dengan rumah orang-orang kaya lain, selalu ada deretan buku mewah ensiklopedi.
Sedangkan rumah orang-orang biasa yang juga kolektor buku, mereka tidak punya buku ensiklopedi, tapi buku-buku tanpa cover mewah, dan jarang sekali mereka memajang koleksinya ,di ruang tamu.
Di Indonesia sendiri, kalau saya perhatikan, sampai dengan era 1970-1980 buku-buku yang di terbitkan masih menggunakan sampul sederhana, hanya memuat unsur tulisan saja dengan dengan tata letak dan jenis huruf yang beraneka ragam
Setelah tahun 1980, baru mulai dimasukan unsur-unsur gambar berupa sketsa, ilustrasi dan berkembang menjadi sebuah seni seperti sekarang ini.
Di luar Indonesia, evolusi sampul buku juga sama, masing-masing punya cerita dan tematik tersendiri.
Buku-buku terbitan Penguin, tema ilustrasi sampul bukunya ternyata sangat banyak yang mempelajarinya, dari segi disain, seni dan filosofi. Beberapa orang menggangap sampul-sampul buku penguin adalah modern art.
Saya mengkoleksi buku terbitan OReilly, buku tentang dunia komputer. Setiap bukunya selalu ada ilustrasi hewan. Dan baru saja saya menemukan tulisan tentang latar belakang dibalik ilustrasinya.
Hewan-hewan yang dipakai masing-masing buku, beberapa mempunyai relasi yang unik dengan subjek buku, beberapa karena bentuk fisiknya, beberapa karena cara pengucapan namanya, ada pula yang hampir punah, dan sebagainya. Selalu ada cerita unik pada covernya.