Saya sering membaca, bahwa menurut UNESCO, tahun 2012, minat baca di indonesia, terhitung sangat rendah, hanya sekitar 0.001%. Artinya dari 280 juta penduduk, hanya sekitar 2800 orang saja yang suka baca.
Terus terang saya masih mencari sumber aslinya sampai sekarang, dan belum ketemu. Yang ada hanya beberapa paper yang melakukan sitasi ke paper lain.
Tapi menurut Perpusnas, tingkat gemar membaca pada tahun 2024 mencapai 73%, dari sekitar 170rb responden. Sejak 2017, kecendurungan tingkat gemar membaca masyarakat, selalu meningkat. Ini cukup menggembirakan.
Hanya saja saya belum tahu, apakah minat baca spesifik berlaku terhadap bahan baca buku, atau yang lain. Karena beberapa pendapat menyatakan minat baca memang naik, tapi apa yang di baca dan kualitas bacaannya, itu masalahnya.
Trend turunya minat baca buku, terjadi dimana-mana, tapi saya mengamati di lingkungan saya sendiri. Di lingkungan yang lebih kecil, keluarga saya. Hanya saya yang sangat menggemari buku, sementara anak-anak saya di usia sekolah, minat bacanya masih sangat rendah. Jumlah buku yang di baca sangat sedikit.
Di lingkungan kerja saya, lebih dari 50 orang, hanya ada 1 orang yang gila buku sama seperti saya.
Ketika saya naik angkutan umum, terlepas dari jenis angkutannya, termasuk pesawat sekalipun, sangat jarang saya menemukan orang yang menghabiskan waktu dengan membaca buku. Kebanyakan mereka bermain game, atau menonton video.
Membanjirnya hiburan digital, seperti platform game, video dan streaming menawarkan hiburan-hiburan instan, yang jelas cenderung di pilih dibandingkan buku. Sesuatu yang menghibur jelas lebih mudah di terima, dari pada membaca yang memerlukan konsentrasi.
Platform konten menyediakan video-video pendek, yang mengurangi rentang perhatian atau attention span. Studi terakhir, manusia hanya mampu konsentrasi pada satu hal dalam waktu 45 detik. Membaca buku, yang memerlukan konsentrasi untuk membaca dalam waktu lama.
Saat ini mungkin kurang dari 45 detik bahkan, perhatian manusia sangat mudah teralihkan. Keinginan untuk selalu update berita, chat, atau mengecek notifikasi lebih dominan dibandingkan fokus pada satu hal.
Karena kesibukannya, manusia di tuntut untuk mengetahui informasi serba cepat. Bacaan singkat cepat lebih di pilih dibandingkan buku yang panjang. Mereka lebih memilih membaca tweet yang hanya sekitar 500 karakter atau kurang tentang isi buku yang di persingkat dari pada mempelajari bukunya sendiri. Membaca seluruh isi buku, dinilai tidak penting, hanya quote singkat dari buku yang penting.
Berubahnya kultur edukasi pada beberapa institusi pendidikan, juga menjadi salah satu penyebab turunnya minat baca buku. Murid di tuntut untuk memiliki kemampuan teknis praktis yang siap dengan dunia pekerjaan.
Di beberapa generasi, buku di anggap kuno dan ketinggalan jaman, sehingga mereka menghindari membaca buku
Buku adalah sesuatu yang berbeda, untuk bisa membaca buku, kita harus menutup dari semua ganguan. Rasa penasaran dari kalimat pada buku, membayangkan kejadian di masa lalu, atau masa depan, mengurai maksud tersembunyi, mengikuti alur cerita yang rumit, memahami ide, gagasan dan konsep, semuanya ini terancam oleh kepuasan instan akibat digitalisasi.
Banyak alasan yang menyebabkan berkurangnya minat membaca buku, tapi usaha untuk mempertahankan pentingnya membaca harus tetap ada. Sebagai penggiat baca buku, kita harus bisa membuat kembali kesadaran membaca buku pad orang-orang di sekitar kita. Buku adalah teman sejati kehidupan.
Secara alami, otak manusia memang di program untuk melakukan sesuatu yang hemat energi. Hiburan instan membutuhkan energi lebih sedikit dibanding membaca atau belajar sesuatu yang baru. Aktifitas yang menyenangkan membuat otak melepaskan dopamin, yang memberikan rasa puas, dan mendorong manusia untuk mengulangi lingkaran dopamin.
Sekarang pilihannya apakah kita tetap mau di perbudak dopamin dengan mengkonsumsi hiburan, atau mengendalikannya untuk belajar hal baru dan produktif ?