Conspicuous consumption

Mengkonsumsi sesuatu, dengan alasan agar orang lain tau kita mampu membeli, untuk menunjukan status sosial, dibandingkan kegunaan.

Sering kita lihat orang menunjukan melalui media sosial mereka, memakai barang mahal, makan di tempat mewah, yang kadang-kadang ternyata tidak sesuai dengan kemampuan finansial mereka.

Tapi kita juga sering di tunjukan, bahwa orang orang dengan kemampuan finansial yang luar biasa, justru tidak pernah menunjukan kemewahan-kemewahan itu. Mereka tampak biasa-biasa saja.

Flexing adalah fenomena yang sudah ada sejak sebelum jaman media sosial muncul.

Mengapa justru dilakukan pada orang-orang dengan kondisi finansial yang pas-pasan ?

Penyebabnya adalah beban psikologis yang dialami oleh mereka.

Dalam kondisi kekurangan, manusia cenderung untuk berada dalam mode survival, atau bertahan hidup, dan ini sangat menguras energi.

Pada saat berada pada mode survival, manusia selalu dalam keadaan waspada, kemampuan otak digunakan maksimal, menimbulkan kelelahan psikologis, yang kadang-kadang memerlukan pengalihan untuk menurunkan ketegangan.

Kondisi kekurangan uang, membuat mereka menjadi pintar untuk mengatur uang, berhemat, mencari cara untuk bertahan dengan uang paspasan. Ketika berhasil melewati kondisi itu, dopamin diberikan sebagai hadiah.

Ketegangan-ketegangan psikologis dari bertahan hidup ini membuat orang berada dalam kondisi selalu waspada, dan lupa untuk berpikir jangka panjang.

Sehingga ketika mendapatkan uang lebih, mereka cenderung untuk segera menghabiskannya tanpa berpikir untuk menyimpan sebagai cadangan, ketika masa-masa sulit.

Pernah dengar kejadian di sebuah desa di jawa timur, masyarakatnya berlomba-lomba membeli mobil mewah setelah mendapatkan uang ganti rugi tanah ?

Ketika menemukan pengalih ketegangan psikologis, manusia cenderung menunjukan kondisi berkebalikan dari kondisi sesungguhnya sekedar untuk mempertahankan status sosialnya.

Flexing atau pamer, dengan membeli barang-barang mahal atau mewah menjadi pilihan yang terlihat lebih rasional, dari pada menabung untuk masa depan.

Mendapatkan validasi sosial, jauh lebih melegakan dan menghilangkan ketegangan psikologis daripada harus berpikir mengenai masa depan.

Membeli barang-barang yang berharga mahal, bisa meningkatkan posisi status sosial.

Sering kali orang membeli barang-barang yang sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan, karena tujuan sebenarnya bukan mengenai fungsi barang itu sendiri, tapi lebih karena kebutuhan pengakuan status dari orang lain, bahwa ia mampu membeli barang dengan harga mahal.

Pengakuan sosial instan ini terasa lebih penting, dari memikirkan finansial jangka panjang yang terasa abstrak.

Apple dengan produk Iphone-nya, begitu jenius dalam membuat orang ingin memilikinya sebagai simbol status sosial. HP orang kaya, lambang kesuksesan, begitu kira-kira image yang ada di pemikiran kita.

Tidak heran, begitu banyak orang memilikinya, sampai rela mengalihkan semua sumber daya finansialnya untuk memiliki Iphone terbaru.

Tujuannya bukan membeli spesifikasi yang bagus, tapi sekedar agar orang tahu, kita mampu membeli barang dengan harga mahal.

Tenaga otak yang terkuras habis untuk berpikir rasional, membuat orang lebih memilih reward instan, daripada menghitung beban finansial yang secara angka sudah sulit di hitung.

Sistem ekonomi dan regulasi juga menjadi salah satu faktor yang mempercepat perilaku ini.

Orang lebih mudah mengambil keputusan ketika melihat informasi harga 20.000.000 dengan cicilan tetap 2.500.000 perbulan selama 1 tahun, daripada 20.000.000 dengan bunga cicilan 4.2% perbulan.

Ini menjadi sedikit jawaban pertanyaan, mengapa orang yang kemampuan finansialnya terbatas, justru cenderung untuk membeli barang-barang yang diluar kemampuan mereka. Mereka juga tidak ragu-ragu untuk membeli barang secara menyicil, meminjam pinjaman online, dan bahkan terlibat judi online.

Jawabanya tidak lebih dari sekedar kebutuhan validasi sosial, untuk pengalihan ketegangan psikologis.