Sebenarnya agak janggal bila mindfulness diterjemahkan menjadi kesadaran penuh. Artinya mungkin benar, tapi kurang enak di dengar.
Meminjam ilmu Gus Mus, tentang ilmu malakah, yaitu ilmu untuk memahami sesuatu dengan hati, telinga dan pikiran.
Hati, telinga, dan pikiran digunakan sebagai alat yang penting untuk menilai apakah sesuatu itu benar atau salah.
Artinya interpretasi ilmu malakah, menurut Gus Mus, “tidak perlu dalil-dalilan, didengar tidak enak”.
Mindfulness adalah suatu ilmu kehidupan yang menurut saya, berasal dari dunia timur, kemudian di bawa ke barat, dan ditulis dan diajarkan oleh orang-orang barat.
Orang orang timur, atau orang orang asia, tidak menuliskan ajaran mindfulness secara nyata. Karena menganggap mindfulness sudah harus menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.
Ditambah lagi dalam falsafah timur, hal yang berkaitan dengan hidup, biasanya diajarkan dengan tradisi tutur, bukan dengan tradisi tulisan.
Sebut saja, orang-orang Jawa, Bali, India, Jepang, China, Arab, semua punya filosofi mindfulness yang hidup dan tumbuh sesuai dengan budaya masing-masing.
Terus terang, saya mengenal mindfulness, justru dari buku-buku berbahasa Inggris.
Saya membaca beberapa buku tentang mindfulness, sebelum akhirnya sadar bahwa sebenarnya itu adalah falsafah timur yang dipelajari oleh barat.
Barat tidak mempunyai mindfulness. Tradisi barat terlalu kaku untuk menerima sesuatu yang tidak dapat dibuktikan oleh ilmu pengetahuan.
Praktek spiritual seperti mindfulness, dianggap mitos dan mistik oleh tradisi barat.
Baru belakangan setelah ilmu neuroscience berkembang, praktek spiritual timur, seperti mindfulness mulai bisa diterima.
Tradisi barat memerlukan pendekatan ilmu pengetahuan dan sekular, untuk menerima mindfulness, sedangkan di timur sudah menjadi bagian dari spiritual, filosofi dan tradisi hidup selama ratusan tahun.
Bertahun tahun mempelajari tentang mindfulness, tapi pencerahan terbaik saya dapatkan ketika saya berada di Bali.
Setiap pagi saya melihat seorang ibu yang setiap pagi, dengan menggunakan kebaya dan selendang di pinggang, meletakan banten atau sesajen di pinggir jalan.
Ibu itu meletakan banten berupa sekeranjang kecil beberapa bunga, daun dan dupa kemudian melakukan ritual tanpa merasa terganggu dengan kebisingan yang terjadi di sekitarnya.
Ibu itu mungkin tidak pernah membaca buku atau mempelajari mindfulness secara khusus, tapi sudah pasti beliau dalam keadaan mindful, dalam kondisi kesadaran penuh melakukan ritualnya.
Tanpa kursus, tanpa pelatihan, tanpa tempat khusus, tanpa keheningan, tanpa hashtag, tanpa media sosial.
Mindfulness ternyata bukan sesuatu yang rumit. Bukan sesuatu yang perlu di pelajari secara terjadwal di tempat tempat kursus atau pelatihan.
Bagaimana kita hidup sehari-hari seperti berjalan kaki, menyapa orang, makan, mencuci piring, itu semua adalah tempat melatih mindfulness.
Dalam kehidupan Jawa, ada filosofi eling lan waspodo. Eling arti harafiahnya adalah ingat atau sadar, waspodo artinya hati-hati.
Eling menekankan pada kesadaran penuh terhadap pikiran, perasaan, perilaku diri sendiri, pada lingkungan sekitar, ketika melakukan sesuatu.
Waspodo, adalah prinsip hati-hati terhadap sesuatu yang bisa menjerumuskan kedalam kesalahan atau kelalaian yang akan membawa pada akibat tidak baik.
Seorang bangsawan Jawa jenius yang mendapatkan pencerahan tentang hal ini, adalah Ki Ageng Suryomentaram. Beliau mengajarkan konsep kawruh jiwa tentang merasa, memahami dan menyadari.
Kemampuan seseorang untuk hadir sepenuhnya, menyadari perasaan dan pikiran, mampu merasakan dan memahami apa yang sedang terjadi, pada dirinya dan sekitarnya tanpa perlu menilai atau menghakimi secara berlebihan.
Ini sama dengan interpretasi mindfulness ala barat, yaitu kemampuan individu dalam memperhatikan dan menyadari apa yang terjadi sekarang, tanpa perlu bersikap reaktif terhadap keadaan.
Hanya saja sedikit perbedaan, pada ajaran Ki Ageng Suryomentaram, untuk mencapai mindfulness, tidak perlu meditasi dengan duduk menutup mata, merasakan nafas, tapi dengan olah rasa dan memahami diri sendiri, dan menjalani hidup seperti apa adanya.
Mindfulness ala barat, biasanya mengajarkan kita untuk melatih mindfulness dengan bermeditasi.
Duduk bersila, dengan posisi yang nyaman, merasakan aliran nafas, merasakan ujung-ujung jari, merasakan dan mendengarkan lingkungan. Kemudian membayangkan seperti batu di laut yang terkena ombak.
Mindfulness ala Jawa seperti yang di ajarkan oleh Ki Ageng Suryomentaram, mengajarkan berlatih olah rasa, menerima sesuatu apa adanya.
Merasakan apa yang dirasakan oleh badan, pikiran dan emosi tanpa perlu menilai dan menghakimi.
Memahami apa yang sedang terjadi, apa penyebab kejadian, dan apa konsekuensi dari kejadian pada diri sendiri dan lingkungan.
Menyadari sepenuhnya keberadaan diri sendiri saat ini, tanpa perlu memikirkan yang sudah terjadi dan yang belum terjadi.
Dengan begitu seseorang akan hidup lebih utuh, tenang dan bahagia.