Kemarin saya melihat podcast tentang kondisi media masa di Indonesia.
Nara sumbernya adalah seorang pemimpin redaksi yang saat ini mereka sedang bertransformasi dari media tulis, ke media gambar bergerak atau video.
Salah satu yang menarik adalah pendapatnya tentang media gambar atau video adalah alternatif yang ditawarkan untuk mereka yang tidak suka membaca.
Ini disampaikan oleh nara sumber podcast tersebut, media tidak punya pilihan lain selain menyesuaikan dengan perilaku masyarakat.
Menjadi kegelisahan saya, bahwa budaya membaca kita sudah sampai pada taraf mencemaskan. Media tulis sudah tidak lagi menjadi pilihan dalam menyampaikan informasi.
Masyarakat lebih menyukai konten video dari pada membaca, ini terjadi pada hampir semua golongan masyarakat.
Yang menyedihkan anak-anak usia pra sekolah dasar hingga mahasiswa, sebagai benteng terakhir literasi sudah jebol juga. Mereka lebih memilih konten video pendek dibandingkan membaca teks.
Saya memang pernah membaca, bahwa minat baca masyarakat Indonesia sangat rendah, indikatornya adalah jumlah buku yang di baca pertahun oleh masyarakat Indonesia masih rendah.
Menurut data, masyarakat Indonesia membaca 6 buku pertahun. Sedangkan yang paling tinggi, Amerika dan India, masing-masing 17 dan 16 buku pertahun.
Saya mengambilnya dari worldpopulationreview.com. Data ini memang tidak benar-benar akurat, tapi setidaknya ini sebagai petunjuk saja, bahwa budaya membaca kita masih belum ada separuhnya dua negara diatas.
Apakah itu yang menyebabkan dua negara tersebut punya SDM yang menempati posisi-posisi tertinggi di perusahaan kelas dunia ? Sebut saja Google, Microsoft, IBM, Adobe, Palo Alto sampai Starbucks.
Pertanyaan itu belum terjawab secara ilmiah, walaupun menurut saya, hubungan secara tidak langsung pasti ada. Tapi yang sudah bisa di jawab adalah minat baca yang semakin menurun, dan ini berkaitan langsung dengan menurunnya kemampuan kognitif.
Walaupun banyak diperdebatkan antara membaca atau menonton video, sekarang saya melihat secara subjektif, sebagai orang yang suka membaca, dan suka mendorong orang lain untuk membaca.
Banyak faktor yang menyebabkan turunnya minat baca, tapi menurut saya yang terbesar adalah membaca sudah tidak dijadikan kebiasaan dalam sebuah keluarga.
Tidak ada lagi kebiasaan seorang ibu atau ayah membacakan buku sebelum anak-anak tidur. Membaca tidak lagi dianggap penting untuk diwariskan kepada anak-anak mereka. Ini berakibat anak-anak tidak menganggap membaca adalah sesuatu yang menyenangkan dan penting.
Di sekolah, sistem pendidikan yang hanya menekankan pada hafalan daripada pemahaman, membuat membaca dianggap sebagai kewajiban. Murid dituntut untuk mendapatkan pencapaian akademik di bidang-bidang tertentu, tapi kebiasaan membaca tetap diabaikan.
Ditambah lagi minimnya akses buku bacaan yang menarik dan berkualitas, buku sekolah hanya sekedar berisi materi ajar yang kurang menarik.
Video memang sangat menarik, mudah di cerna dibandingkan teks. Cara menyampaikan informasi yang menggunakan visual audio, dinilai lebih menghibur dan interaktif, membuat orang lebih memilih menonton daripada membaca.
Adanya platform berbasis visual yang mempopulerkan video-video pendek, yang dibuat untuk menarik perhatian, semakin memperpendek pola perhatian manusia. Video pendek menawarkan hiburan instan, lebih mudah diterima dibandingkan membaca yang membutuhkan konsentrasi lebih lama.
Beberapa riset menunjukan, masyarakat lebih memilih konten yang menghibur di bandingkan yang bersifat edukasi.
Membaca mempunyai keunggulan yang tetap penting dan tidak bisa digantikan oleh konten video.
Membaca membuat otak bekerja secara aktif, menganalisa dan memahami informasi. Membaca menajamkan pikiran, memperkuat kemampuan berpikir kritis, meluaskan perspektif dengan memahami ide orang lain, dan meningkatkan kemampuan untuk konsentrasi atau fokus lebih lama kepada satu hal.
Dengan membaca, kita bisa berlatih untuk menganalisa situasi, keadaan, permasalahan, yang sangat penting untuk meningkatkan kemampuan beradaptasi dan memecahkan masalah dengan efektif
Sebaliknya, menonton video sering kali bersifat pasif, sehingga kemampuan berpikir kritis tidak terlatih sebaik membaca.
Membaca menambah kosakata dan memperluas kemampuan bahasa baik tulis maupun lisan, karena kita secara tidak sadar akan menyerap berbagai gaya penulisan dan bahasa. Ini sangat mempengaruhi kemampuan kita untuk berkomunikasi.
Hal ini kontras dengan video yang sering kali hanya menggunakan bahasa lisan sehari-hari yang sederhana dengan kosakata yang tidak terlalu banyak.
Daya imajinasi dan proses berpikir kreatif semakin berkembang dengan membaca. Pada saat membaca, kita membayangkan sebuah konsep, ide lokasi, situasi berdasarkan deskripsi pada teks.
Saat membaca, otak kita cenderung untuk aktif untuk memahami tulisan, ini memungkinan pemahaman lebih mendalam dan detail terhadap suatu informasi, ingatan jangka panjang akan semakin terlatih dan kuat.
Dari kelebihan-kelebihan membaca, mungkin sudah menjawab pertanyaan kenapa orang-orang India banyak menjadi CEO perusahaan dunia.
Konten video menyajikan hiburan dan informasi yang cepat, tapi membaca membuka ruang tidak terbatas untuk pengembangan diri. Membaca tetap diperlukan untuk mengasah kemampuan berpikir kritis, menambah pengetahuan, memicu rasa ingin tahu, memicu kreatifitas untuk membantu kita menghadapi permasalahan hidup.
Saya membayangkan, bila kita semua peduli terhadap kondisi ini, bila konten kreator lebih banyak menggunaan platform video pendek untuk kegiatan edukasi, mempromosikan buku, menularkan kebiasan membaca, tidak mustahil Indonesia Emas akan lebih cepat di capai.