Menjaga peran perpustakaan di jaman AI

Karena urusan pekerjaan, tanpa sengaja saya ikut mendengar seorang anggota legislatif, membahas anggaran dan bertanya kepada seorang kepala dinas arsip dan perpustakaan.

Anggota legislatif itu mempertanyakan kenaikan anggaran dinas perpustakaan, dan mengganggap tidak perlu, kemudian beliau mengkaitkan dengan fakta semakin berkurangnya pengunjung perpustakaan karena sudah ada ChatGPT.

Saya juga membaca, bahwa di negara Amerika, Donald Trump, mengeluarkan order eksekutif, yang isinya kira kira adalah melihat bahwa pembiayaan perpustakaan dan berbagai hal yang berkatian dengan kebudayaan, adalah bentuk pemborosan anggaran.

Harus di akui, pengunjung perpustakaan dimanapun, termasuk di sekolah dan kampus kampus perguruan tinggi, terus menurun.

Memang tidak salah pemikiran anggota dewan dan Trump, jika dilihat dari satu sisi saja, yaitu sisi ekonomi finansial saja, bahwa pengunjung perpustakaan semakin sedikit, fungsi perpustakaan semakin menurun, anggaran harus dipangkas.

Tapi perpustakaan adalah bagian dari peradaban manusia, yang harus tetap dipertahankan.
Sejarah mencatat, perpustakaan adalah tempat lahirnya para pemikir pemikir bangsa ini.

Sebut saja, Kartini, Bung Hatta, Muh. Yamin, Soekarno, Gus Dur, HB Jassin, Tan Malaka, BJ Habibie, semuanya adalah pembaca dan pengunjung perpustakaan.

Indonesia sendiri, mempunyai hari kunjung perpustakaan, setiap tanggal 14 September, dan sudah berjalan sejak 1995, sebagai bagian dari gerakan bulan gemar membaca, yang dilaksanakan setiap bulan September.

Perpustakaan bukan sekedar tempat menyimpan buku, tapi menjadi sebuah tempat kumpulan hasil karya para pemikir. Kita tidak bisa melupakan hasil karya mereka, karya mereka harus tetap kita cari, baca dan di manifestasikan dengan pemikiran pemikiran yang sesuai jaman.

Selain itu untuk saya pribadi, perpustakaan merupakan tempat paling tepat jika menginginkan tempat yang sunyi, entah itu untuk belajar, atau mencari inspirasi.

Perpustakaan juga merupakan salah satu tempat terbuka, dimana siapapun bisa datang, dan bisa mendapatkan ruang atau tempat, tanpa perlu membayar apapun.

Menjaga keberadaan perpustakaan adalah menjaga perwujudan ide dimana sebuah komunitas berhak mendapatkan ruang, sama seperti taman kota, lapangan, ruang terbuka hijau, dan semacamnya, walaupun mungkin tidak ada keuntungan finansial yang dihasilkan.

Tapi tidak bisa dipungkiri bahwa perubahan memang terjadi tanpa bisa kita cegah. Perubahan selalu memberikan dampak pada cara manusia untuk menjalani hidup.

Dalam kasus perpustakaan, telah terjadi perubahan dalam cara kita mencari informasi. Demokratisasi pengetahuan sudah bergeser, dari perpustakaan ke internet dan sekarang ke AI.

Kalau dulu, perpustakaan adalah salah satu pilar demokratisasi pengetahuan, dimana perpustakaan memiliki peran utama, untuk menyediakan kebebasan akses berbagai macam informasi, melalui peyediaan bahan bacaan, seperti buku, majalah, kliping koran.

Sekarang peran itu sudah bergeser, Internet, mesin pencari dan AI sudah merubah perilaku manusia dalam mencari informasi.

Wikipedia, mesin pencari google, dan AI model bahasa raksasa, adalah sumber utama dan pertama dalam proses pencarian informasi. Mengunjungi perpustakaan untuk mencari referensi, dan membaca buku, sudah bukan lagi pilihan.

Semua itu membuat anggota dewan dan Trump, bahkan kita semua mempertanyakan ulang apa fungsi perpustakaan di masa sekarang ini.

Perpustakaan yang dulu adalah sebuah gedung gudang buku, dengan jumlah buku terbatas, berbiaya operasional mahal, dan biasanya sulit di jangkau, lokasinya tidak di tengah kota, atau lokasi yang mudah dijangkau.

Jika dilihat dari sudut pandang itu, memang perpustakaan akan kehilangan kemampuan untuk bertahan dan dipertahankan.

Tapi bila dilihat dari fungsi, terutama jika perpustakaan bertransformasi fungsi, mungkin bisa menjadi alasan agar perpustaakaan tetap di bisa untuk pertahankan keberadaannya.

Perpustakaan bisa bertransformasi dari tempat penyimpanan buku dan peminjaman buku menjadi sebuah pusat komunitas, pusat pengetahuan, pusat sumber daya pendidikan dan menjadi tempat kurasi pengetahuan baik digital atau fisik, jurnal online.

Dalam jaman AI, perpustakaan berfungsi sebagai tempat yang terpercaya untuk berkumpulnya manusia, untuk memberikan akses informasi, panduan etik dan akses teknologi yang demokratis.

Semakin banyaknya konten yang dihasilkan oleh AI, perpustakaan merupakan tempat untuk meningkatkan literasi informasi dan berpikir kritis. Perpustakaan adalah tempat yang tepat untuk belajar mengevaluasi kredibilitas dan kebenaran sebuah informasi.

Para pustakawan bisa berperan sebagai pelatih, atau penasehat, untuk membantu pengunjung dalam mengenali dan membedakan konten-konten yang di buat AI, dan memberikan pembelajaran mengenai implikasi etik akibat dari teknologi ini.

Perpustakaan sebagai tempat netral untuk berdiskusi tentang AI, tentang privasi data, bias algoritma, keadilan digital, etika dan efek-efek yang di timbulkan.

Selain buku, majalah dan materi tulis, perpustakaan bisa menjadi tempat pengumpulan berbagai macam dataset, baik itu data sosial, finansial, dan dataset lainnya.

Perpustakaan juga bisa menjadi tempat pelatihan, workshop dan sejenisnya untuk pelatihan pelatihan digital, terutama tentang penggunaan dan pemahaman AI, prompt engineering, dan sejenisnya.

Bahkan juga mungkin memberikan akses tools AI gratis kepada pengunjung, sehingga semua orang mendapatkan akses tools AI yang mungkin berbayar. Tidak semua orang mempunyai akses ke tools AI, terutama karena keterbatasan akses internet dan finansial.

Untuk sebagian orang, penyandang disabilitas, tentu saja penyediaan teknologi asistif, seperti konversi tulisan ke suara, tulisan alpabet ke huruf braile, dan sebagainya sangat berguna.

Juga sebagian anggota masyarakat yang sudah lanjut usia, penggunaan tools AI, tentu sangat sulit.

Disini peran perpustakaan sebagai jembatan untuk celah ini. Perpustakaan dan pendukungnya sangat berperan dalam mengatasi berbagai kesenjangan digital ini. Perpustakaan menjadi tempat yang inklusif

Selain itu, peran perpustakaan yang paling vital, adalah sebagai penjaga jejak budaya dan sejarah karya manusia. Mungkin AI dapat memproses jutaan data, tapi sangat kurang tentang pemahaman konteks, pemahaman budaya dan pengalaman hidup.

Perpustakaan, menyimpan informasi yang unik, bermuatan lokal yang masih asli berupa tulisan, belum menjadi digital, dan bersifat lokal. Pustakawan mempunyai keahlian untuk mengetahui asal muasal, dan sejarah dari sebuah pengetahuan budaya dan sejarah ini. Ini mungkin tidak masuk dalam data AI dan itu merupakan jejak sejarah budaya kemanusiaan yang mungkin dilewatkan oleh AI.

Dijaman sekarang, fungsi perpustakaan tidak berkurang, tapi bertransformasi, menjadi ekosistem pengetahun, dari sekedar tempat menyimpan informasi, buku atau majalah, menjadi tempat utama untuk pusat literasi, berpikir kritis dan menjaga kesetaraan akses informasi kepada komunitas.

Misi utama perpustakaan adalah menyediakan akses informasi, dan menjaga agar tetap ada pemikiran pemikiran kritis manusia.

AI dapat memberikan ringkasan, rekomendasi dan analisa, tapi perpustakaan memberikan pandangan lebih manusiawi, bersumber dari koleksi pengetahuan yang dimiliki, untuk penyeimbang informasi, baik secara etika, konsep, dan konteks.

Sekarang ini, perpustakaan berevolusi dari gudang jawaban, menjadi tempat untuk mengolah pikiran. Kita tidak sekedar bertanya ke AI, tapi kita juga harus belajar bagaimana cara bertanya, memverifikasi hasil, dan menggunakan hasil itu secara kreatif dengan tetap menjaga moral dan etika. Disini peran perpustakaan berfungsi sebagai penyeimbang dan pemandu kita.

Nilai-nilai perpustakaan bukan lagi terletak pada informasi pengetahuan yang di simpan, tapi pada nilai pengalaman kemanusiaannya, untuk membantu dan memandu masyarakat dalam menggunakan teknologi AI secara bijak.