Sering saya dengar orang-orang di sekitar bilang
“Googling saja”, “tanya ChatGPT saja”
atau
“Buat apa di ingat, tinggal tanya google atau chatgpt”
Memang pernyataan itu sangat logis, tapi buat saya itu adalah pemahaman yang keliru mengenai bagaimana otak bekerja untuk mengingat sesuatu, dan menurut saya, cepat atau lambat itu akan mengurangi kemampuan otak untuk berpikir.
Teknologi yang terlihat membuat kita cerdas, sebenarnya justru mencegah otak kita untuk belajar berpikir.
Sekarang ini, ada kecenderungan nilai IQ turun, dibandingkan dengan tahun 1990-2000. Performa kognitif cenderung turun, dan beberapa studi menyimpulkan, penurunan kemampuan kognitif, lebih banyak karena pengaruh eksternal, yang artinya penurunan disebabkan oleh apa yang manusia lakukan.
Otak manusia terdiri atas milyaran neuron. Dan bekerja dengan membuat interkoneksi antar neuron-neuron. Perpustakaan pengetahuan dibuat dengan membuat interkoneksi antar neuoron. Baik interkoneksi baru, atau memperkuat interkoneksi yang sudah ada.
Ketika manusia belajar sesuatu yang baru, otak akan membuat interkoneksi baru. Itu sebabnya ketika pertama kali belajar sesuatu, kita akan berpikir bagaimana melakukan langkah demi langkah.
Biasanya proses itu akan tidak sempurna, lambat, dan menghabiskan energi.
Tapi setelah belajar berulang kali, hubungan antar neuron tersebut akan semakin kuat, dan proses melakukan sesuatu akan menjadi lebih mudah, efisien, dan tanpa perlu di pikirkan lagi.
Seseorang yang belajar gitar atau piano, akan selalu berpikir bagaimana penempatan jari-jari sesuai dengan pola yang ada. Tapi setelah berlatih berulang-ulang, penempatan jari akan secara otomatis.
Ketika pertama kali belajar, manusia menggunakan working memory, memori kerja, atau sistem kognitif yang menyimpan informasi untuk proses pemahaman, pembelajaran, kreatifitas dan pemecahan masalah.
Memori kerja ini akan memproses informasi yang baru dan menghubungkan dengan informasi yang sudah disimpan sebelumnya pada bagian ingatan jangka panjang. Ingatan jangka panjang ini digunakan untuk melakukan kegiatan sehari-hari.
Memori kerja ini menghabiskan banyak energi, sedangkan ingatan jangka panjang tidak, bekerja seperti otomatis.
Berpikir juga sama. Ketika kita mempelajari sesuatu yang baru, seperti konsep konsep matematika, fisika atau lainnya. Otak akan membuat hubungan-hubungan baru pada memori kerja. Untuk kemudian di simpan di memori jangka panjang, dengan tujuan ingatan ingatan tersebut akan menjadi semacam perpustakaan yang bisa di akses kapan saja.
Jadi kita bisa menggunakan memori kerja untuk keperluan lain seperti memecahkan masalah dan proses kreatif.
Tapi sekarang ini, proses untuk belajar berpikir, banyak diambil alih, atau bahkan lebih kasarnya, kita menyerahkan proses berpikir kita kepada mesin pencari, dan AI model bahasa besar.
Kita terjebak pada pengetahuan semu, tahu tentang sesuatu, tapi tidak sampai pada memahami sesuatu.
Kita bertanya kepada google, atau Chatgpt tentang cara bermain gitar, tentang kunci nada pada gitar dan kita tahu posisi jari kita, tapi kita tidak memahami bagaimana cara memainkan gitar. Karena itu tidak ada pada sistem ingatan kita.
Ingatan kita bergantung pada sebuah alat, entah itu hp, laptop, atau apapun. Kita tidak memahami sesuatu, kita hanya menyewa informasi saja. Kita bisa melihat informasi, tanpa tahu bagaimana informasi itu bekerja.
Potongan-potongan informasi yang didapatkan secara instan, tidak akan berguna ketika dihadapkan kepada masalah yang menuntut kemampuan memecahkan masalah yang membutuhkan kreatifitas, analisa, dan sintesis.
Menyerahkan proses berpikir kepada mesin pencari dan AI, sudah merusak atau mengurangi kemampuan otak untuk berpikir.
Otak punya kemampuan otomatis, refleks, atau bekerja tanpa berpikir. Daniel Kahneman menyebut ini sebagai Sistem 1. Tujuan kemampuan ini adalah untuk mengurangi penggunaan energi. Otak adalah organ manusia yang sangat boros energi. Berpikir akan sangat menghabiskan energi. Kemampuan otomatis ini bertujuan untuk menghemat energi.
Membaca tulisan, menggunakan kemampuan ini. Kita tidak perlu lagi menganalisa huruf satu persatu untuk membaca.
Sistem otomatis ini belajar dengan cara mengulangi sesuatu puluhan sampai ratusan kali, hingga menjadi otomatis. Jika kita menyerahkan kemampuan seperti menghitung, menghafal rumus, atau mengingat hal-hal kecil, kepada mesin pencari, otak kita tidak pernah membangun sistem otomatisnya.
Otak juga belajar ketika kita melakukan kesalahan. Proses belajar sebenarnya adalah proses penyesuaian antara keluaran dan hasil yang di harapkan. Ada bagian otak yang memprediksi hasil ketika dihadapkan pada suatu masalah.
Seorang pemain basket yang terlatih, akan mampu memprediksi apakah lemparannya masuk atau tidak. Otaknya akan memerintahkan otot-otot di tangannya dengan ukuran tertentu berdasarkan informasi dari mata, telinga dan indera lain, hingga akhirnya bola tersebut mengenai sasarannya.
Beberapa orang mampu memprediksi hasil dengan akurat ketika mendapatkan persoalan matematis. Bukan karena mereka punya kemampuan supranatural, tapi otaknya sudah terlatih untuk memprediksi dari pola persoalan tersebut.
Kemampuan ini tidak akan di dapat ketika kita terbiasa menyerahkan sebuah persoalan kepada mesin. Kemampuan otak untuk memprediksi hasil akan tumpul, jika kita terbiasa menghitung dengan kalkulator, atau bahkan mesin pencari dan AI.
Otak kita tidak tahu mana hasil yang benar atau salah, karena tidak ada informasi mengenai itu. Kita melewatkan proses belajar untuk otak kita.
Model AI bahasa besar, atau large language model, menurut sebagian orang adalah bentuk pengetahuan baru. Orang-orang berlomba untuk mempelajari prompt engineering. Sampai sampai, ada sebuah perguruan tinggi membuka jurusan tentang prompt engineering.
Mereka dilatih untuk menjadi pengguna AI, bukan pembuat AI.
Entah apakah ini adalah penyebab menurunnya kemampuan kognitif pada manusia generasi baru.
Sebab wawasan, pemahaman, kreatifitas dan kemampuan memecahkan masalah muncul dari khazanah pengetahuan yang ada pada sistem neuron otak.
Tanpa dasar pengetahuan yang cukup, penggunaan AI hanya sekedar perintah masukan keluaran saja.
Itu perlahan membuat manusia belajar untuk kehilangan kemampuan untuk adaptasi, memecahkan masalah ketika dihadapkan pada situasi krisis.
Lalu bagaimana memperbaikinya ?
Latih kembali otak untuk membentuk hubungan antar neuron. Belajar kembali untuk mengingat sesuatu. Tujuan utama bukan untuk sekedar mengingat, tapi untuk mengingat untuk berpikir.
Banyak metode untuk ini. Salah satu yang saya lakukan adalah membuat otak kedua atau second brain, dengan cara mencatat hal-hal yang menarik, kemudian menghubungkan catatan-catatn tersebut. Itu melatih otak untuk memanggil ingatan informasi, dan membentuk pengetahuan.
Gunakan AI sebagai komplemen. Untuk misalnya memeriksa pekerjaan, atau membandingkan dengan pekerjaan orang lain. AI bisa digunakan untuk memeriksa tata bahasa, tata tulisan, kesalahan tulis, dan sebagainya. Bisa juga menggunakan AI sebagai alat untuk brainstorming.
Yang penting lakukan pekerjaan kita dulu, gunakan AI sebagai alat sekunder setelah pekerjaan utama selesai.
AI harus digunakan sebagai alat yang memperkuat kemampuan kita berpikir, bukan sebaliknya.
Fakta bahwa ada penurunan kemampuan kognitif tidak bisa di hindari sebagai efek kolateral tekonologi. Bahwa kita lebih suka jawaban instan, dibanding mencari pengetahuan yang mendalam.
Sama seperti otot, yang akan melemah jika tidak pernah dipakai, kemampuan otak juga akan melemah ketika tidak pernah dipakai.
Setiap kali ada ketidaktahuan kita terhadap informasi atau pengetahuan, kita bisa memilih.
Apakah kita menghendaki jawaban pengetahuan instan dari mesin pencari atau AI, atau kita memilih pengetahuan jangka panjang, dengan cara mempelajari dan mengekplorasi pengetahuan tersebut.
Pilihan pertama terlihat cepat, efisien tapi cepat hilang. Pilihan kedua akan terasa sulit, tapi pengetahuannya bisa digunakan untuk secara kreatif memecahkan masalah.
Sejak masa pemburu pengumpul, manusia cenderung memilih hal yang mudah. Itu adalah naluri bertahan hidup. Dan ketika itu terjadi otak memberikan hadiah berupa hormon dopamin yang menyebabkan rasa puas.
Ketika kita memilih pilihan pertama, pada saat itu dopamin akan mengalir. Dan manusia merasakan kepuasan dan merayakan keberhasilan semu.
Saya teringat tulisan Joanna Maciejewska, seorang penulis, “I want AI to do my laundry dan dishes so that i can do art and writing, not for AI to do my art and writing, sot that i can do my laundry and dishes”